Aktivitas Penjualan Obat Keras Daftar G Di Cengkareng Jakarta Barat Kembali Menjadi Sorotan Publik, APH Harus Bertindak
JAKARTA BARAT - VIKINEWS - Aktivitas penjualan obat keras daftar G atau pil koplo di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, kembali menjadi sorotan publik. Sebuah toko yang beroperasi di wilayah tersebut diduga kuat menjual berbagai jenis obat terlarang tanpa izin resmi, dan hingga kini beroperasi bebas tanpa tindakan dari aparat penegak hukum.
Ironisnya, keberanian toko itu diduga bukan tanpa alasan. Sumber lapangan menyebut adanya campur tangan oknum pimpinan organisasi profesi wartawan, yakni dari Aliansi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI), yang ikut membekingi aktivitas ilegal tersebut.
Warga sekitar mengaku sudah lama resah dengan keberadaan toko tersebut karena menjadi tempat transaksi obat-obatan keras seperti Trihexyphenidyl, Tramadol, Double L (DMP), Somadryl, dan Carnophen (Zenith) yang dapat menimbulkan efek halusinasi dan ketergantungan berat jika disalahgunakan.
> “Tiap malam banyak orang datang, kadang bawa motor, kadang mobil. Semua tahu itu toko obat keras. Tapi anehnya tidak pernah digerebek. Yang jaga namanya Heri, dan di belakangnya ada Adit alias Pion yang ngatur barang dan jaringan,” ujar seorang warga setempat yang enggan disebutkan namanya, Senin (6/10/2025).
Menurut pantauan tim awak media di lapangan, toko tersebut tampak seperti apotek biasa dari luar, namun sering menerima pengunjung yang datang bergantian dalam waktu singkat. Beberapa di antaranya bahkan terlihat melakukan transaksi dengan cara COD (Cash On Delivery) di area sekitar toko.
Warga menduga, bisnis haram itu bisa berjalan mulus karena adanya bekingan kuat dari oknum tertentu. Nama seorang pimpinan umum AWDI ikut terseret dalam dugaan keterlibatan jaringan pengamanan usaha ilegal tersebut.
> “Kami dengar ada orang kuat di belakangnya dari kalangan wartawan. Kalau bukan karena itu, mana mungkin bisa bertahan lama tanpa disentuh polisi,” ujar warga lainnya.Hingga berita ini diterbitkan, Polsek Cengkareng dan Polres Metro Jakarta Barat belum memberikan tanggapan resmi terkait temuan tersebut. Tim redaksi juga telah mencoba menghubungi oknum yang disebut-sebut berafiliasi dengan AWDI, namun tidak memberikan jawaban saat dikonfirmasi.
“Tanggapan Para Tokoh dan Organisasi Anti Narkotika”
Menanggapi dugaan penyalahgunaan jabatan oleh oknum wartawan yang membekingi peredaran obat keras, Ferry Rusdiono, Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Online Dwipantara, menegaskan bahwa tindakan seperti itu mencoreng nama baik profesi jurnalis.
> “Jika seorang pimpinan wartawan menyalahgunakan jabatannya, tindakan yang bisa dilakukan adalah melaporkan ke Dewan Pers atau perusahaan media tempatnya bernaung untuk mendapatkan sanksi internal dan eksternal. Selain itu, langkah memboikot pemberitaannya juga bisa menjadi bentuk ketidaksetujuan publik terhadap pelanggaran etika tersebut,” tegas Ferry Rusdiono.
Hal senada disampaikan oleh Fachrudin Sangaji Bima, Ketua Umum Generasi Anti Narkotika Nasional (GANN). Ia mengecam keras segala bentuk perlindungan terhadap jaringan peredaran pil koplo, terutama bila dilakukan oleh oknum yang seharusnya menjadi teladan di masyarakat.
> “Kami di GANN menolak keras segala bentuk penyalahgunaan wewenang. Bila benar ada oknum yang menggunakan nama organisasi profesi wartawan untuk membekingi pengedar pil koplo, kami minta aparat menindak tegas tanpa pandang bulu,” ujar Fachrudin.
Sementara itu, Tuan Guru Drs. Dedi Hermanto, Ketua Umum Pengurus Besar Forum Ulama dan Aktivis Islam (PB-FORMULA), menilai bahwa praktik seperti ini adalah bentuk kemunafikan sosial yang harus dilawan bersama.
> “Orang yang memakai jabatan profesi untuk menutupi kemaksiatan telah menyalahi nilai moral dan agama. Ulama bersama masyarakat harus bersuara agar hukum ditegakkan dengan adil,” ujar Tuan Guru Dedi Hermanto.
“Dasar Hukum dan Ancaman Pidana”
Peredaran obat keras jenis pil koplo tanpa izin edar resmi merupakan tindak pidana berat, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Pasal 196: Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar atau persyaratan keamanan, khasiat, dan mutu, dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Pasal 197: Setiap orang yang mengedarkan obat yang tidak memiliki izin edar dari BPOM dapat dikenakan pidana penjara hingga 15 tahun serta denda maksimal Rp1,5 miliar.
Masyarakat berharap agar pihak kepolisian dan instansi terkait segera turun tangan menindaklanjuti laporan ini secara serius, tanpa tebang pilih.
> “Kami harap jangan hanya rakyat kecil yang ditangkap, tapi juga beking-bekingnya yang punya jabatan,” tegas salah satu tokoh masyarakat Cengkareng.
Distributor rilis
Penerbit Tim